Media massa semestinya menyampaikan informasi kepada publik secara transparan, obyektif dan netral. Apabila disimak banyak koran besar yang telah mengambil posisi menuju kondisi ideal tersebut. Ambillah contoh, Kompas. Koran ini di sisi manajemen dan pemegang saham didominasi oleh kalangan Katolik. Namun dalam hal pemberitaan suatu berita tidak pernah mensortir pemberitaan menyangkut kejadian atau dakwah agama tertentu. Demikan halnya dengan Republika yang berangkat dari ICMI dan dimotori oleh para kuli tinta muslim.
Di Media Indonesia, dari jajaran petinggi mulai dari direktur dan wakil direktur, para redaktur didominasi oleh kalangan agama tertentu. Dan nampaknya hal itu berlangsung tidak secara alamiah, namun dengan suatu rekayasa terstruktur. Dalam suatu perekrutan pegawai baru, dari dua belas yang diterima, sepuluh diantaranya pasti berasal dari agama tertentu. Pernah ada suatu kasus penerimaan seorang jurnalis wanita muda kemudian dianulir karena yang bersangkutan diketahui mengenakan jilbab. Secara struktur dan kebijakan sangat terasa diskriminasi terhadap karyawan muslim di sana.
Dalam soal pemberiataan di bulan haji ini, menurut survey dan rating pemasang iklan tertinggi adalah liputan mengenai ibadah haji dan kegiatan umat Islam menyambut Idul Adha, dan berita tersebut sangat layak dimuat bahkan menjadi headline dan ditempatkan di halaman utama. Namun kebijakan dari para ndoro petinggi menitahkan bahkan berita tersebut jangan dimuat. Demikian halnya ketika terjadi domontrasi besar-besaran oleh PKS di berbagai kesempatan juga laporan beritanya selalu dianulir oleh para petinggi.
Dalam pergaulan keseharian, pada saat rekan-rekan muslim melaksanakan sholat jum’at, karyawan dan jajaran direksi yang beragama lain kemudian secara sporadis selalu melaksanakan misa dengan alunan nyanyian gerejawinya seakan tak mau kalah dengan para muslim yang tengah khusuk beribadah. Hal ini mendorong Mas Edi menyusun buku berjudul ”Senandung Gereja di Kedoya” yang akan membeberkan kebusukan yang terjadi di media raksasa tersebut.
Hal tersebut oleh Mas Edi disampaikan kepada Menteri Agama Muhammas Maftuh Basyuni, Dirjen Bimas Islam Prof Nazarrudin Umar, dan Direktur Pasca Sarjana UIN Prof Azuramardi Azra, dan pesan moral dari mereka adalah agar Mas Edi dan rekan-rekan yang masih bertahan di dalam sistem terus berusaha memperjuangkan aspirasi warga muslim.
Beberapa redaktur penting dan lebih senior dari Mas Edi kemudian mengundurkan diri setelah menempuh berbagai cara untuk memperjuangkan idealisme kode etik jurnalistik. Pihak manajemen kemudian merekrut para wartawan ”muslim abangan” yang bisa mereka ”tawar” dan dapat bekerja sama sekaligus untuk melegitimasi bahwa mereka tidak membawa misi pelembagaan agama. Seorang rekan dari anggota Jaringan Islam Liberal bahkan dengan suka rela membatalkan puasa Ramadhan ketika diajak makan siang oleh para bos. Dan hal tersebut dijadikan senjata oleh para ndoro bahwa ternyata si A dapat bertoleransi tinggi terhadap agama lain, dan yang lainnya semetinya juga bisa melakukan hal yang sama.
Berbagai cara telah ditempuh oleh Mas Edi dan rekan-rekan yang bertahan, mulai dari cara halus dan sopan sampai cara kasar tanpa sopan-santun lagi. Di tempat-tempat tertentu pada dinding tembok, semisal di toilet banyak karyawan yang mencoretkan umpatan dan keluhan.....si A redaktur brengsek, bajingan, dll. Bahkan pernah mereka melancarkan aksi membuat spanduk besar disertai karangan bunga raksasa yang memberikan selamat kepada seorang pejabat yang mengundurkan diri, padahal kenyataannya pejabat tersebut tidak mundur.