17 Januari 2008

TIKUS-TIKUS DI KEDOYA

Adalah Mas Edi, pria berpenampilan kalem dan berambut gondrong dengan kaca minus yang malam itu turut nguda roso. Dia adalah seorang wartawan mantan redaktur bertema budaya di sebuah koran besar bergelar Media Indonesia. Dia secara terbuka dan lugas menyampaikan pemaparan mengenai intrik-intrik yang terjadi di dalam rumah tangga koran besar tersebut yang diistilahkannya sebagai pelembagaan agama dalam institusi media massa. Hal tersebut perlu disampaikannya sebagai suatu pembelajaran publik tanpa mau mendeskriditkan kelompok atau agama tertentu.

Media massa semestinya menyampaikan informasi kepada publik secara transparan, obyektif dan netral. Apabila disimak banyak koran besar yang telah mengambil posisi menuju kondisi ideal tersebut. Ambillah contoh, Kompas.
Koran ini di sisi manajemen dan pemegang saham didominasi oleh kalangan Katolik. Namun dalam hal pemberitaan suatu berita tidak pernah mensortir pemberitaan menyangkut kejadian atau dakwah agama tertentu. Demikan halnya dengan Republika yang berangkat dari ICMI dan dimotori oleh para kuli tinta muslim.

Di Media Indonesia, dari jajaran petinggi mulai dari direktur dan wakil direktur, para redaktur didominasi oleh kalangan agama tertentu. Dan nampaknya hal itu berlangsung tidak secara alamiah, namun dengan suatu rekayasa terstruktur. Dalam suatu perekrutan pegawai baru, dari dua belas yang diterima, sepuluh diantaranya pasti berasal dari agama tertentu. Pernah ada suatu kasus penerimaan seorang jurnalis wanita muda kemudian dianulir karena yang bersangkutan diketahui mengenakan jilbab. Secara struktur dan kebijakan sangat terasa diskriminasi terhadap karyawan muslim di sana.

Dalam soal pemberiataan di bulan haji ini, menurut survey dan rating pemasang iklan tertinggi adalah liputan mengenai ibadah haji dan kegiatan umat Islam menyambut Idul Adha, dan berita tersebut sangat layak dimuat bahkan menjadi headline dan ditempatkan di halaman utama. Namun kebijakan dari para ndoro petinggi menitahkan bahkan berita tersebut jangan dimuat. Demikian halnya ketika terjadi domontrasi besar-besaran oleh PKS di berbagai kesempatan juga laporan beritanya selalu dianulir oleh para petinggi.

Dalam pergaulan keseharian, pada saat rekan-rekan muslim melaksanakan sholat jum’at, karyawan dan jajaran direksi yang beragama lain kemudian secara sporadis selalu melaksanakan misa dengan alunan nyanyian gerejawinya seakan tak mau kalah dengan para muslim yang tengah khusuk beribadah. Hal ini mendorong Mas Edi menyusun buku berjudul ”Senandung Gereja di Kedoya” yang akan membeberkan kebusukan yang terjadi di media raksasa tersebut.

Hal tersebut oleh Mas Edi disampaikan kepada Menteri Agama Muhammas Maftuh Basyuni, Dirjen Bimas Islam Prof Nazarrudin Umar, dan Direktur Pasca Sarjana UIN Prof Azuramardi Azra, dan pesan moral dari mereka adalah agar Mas Edi dan rekan-rekan yang masih bertahan di dalam sistem terus berusaha memperjuangkan aspirasi warga muslim.

Beberapa redaktur penting dan lebih senior dari Mas Edi kemudian mengundurkan diri setelah menempuh berbagai cara untuk memperjuangkan idealisme kode etik jurnalistik. Pihak manajemen kemudian merekrut para wartawan ”muslim abangan” yang bisa mereka ”tawar” dan dapat bekerja sama sekaligus untuk melegitimasi bahwa mereka tidak membawa misi pelembagaan agama. Seorang rekan dari anggota Jaringan Islam Liberal bahkan dengan suka rela membatalkan puasa Ramadhan ketika diajak makan siang oleh para bos. Dan hal tersebut dijadikan senjata oleh para ndoro bahwa ternyata si A dapat bertoleransi tinggi terhadap agama lain, dan yang lainnya semetinya juga bisa melakukan hal yang sama.

Berbagai cara telah ditempuh oleh Mas Edi dan rekan-rekan yang bertahan, mulai dari cara halus dan sopan sampai cara kasar tanpa sopan-santun lagi. Di tempat-tempat tertentu pada dinding tembok, semisal di toilet banyak karyawan yang mencoretkan umpatan dan keluhan.....si A redaktur brengsek, bajingan, dll. Bahkan pernah mereka melancarkan aksi membuat spanduk besar disertai karangan bunga raksasa yang memberikan selamat kepada seorang pejabat yang mengundurkan diri, padahal kenyataannya pejabat tersebut tidak mundur.

Akhirnya Mas Edi memilih jalan pengunduran diri dan mencoba memperjuangkan idealisme di luar kandang Kedoya. Proses hukum sedang berjalan dan atas bantuan serta mediasi Menteri Agama kasus-kasus tak wajar tersebut akan diangkat ke meja hijau di 2008. seorang teman sejawat Mas Edi juga tengah menuliskan kesaksiannya dalam buku yang kelak diberinya judul Tikus Tikus di Kedoya.

02 Januari 2008

sugeng rawuh nda..: tadi malam hujan dan macet di HI

Nderek mahargyo taun enggal, mugi tansah cinaketaken ing rejo lan mulyo soho tinebihaken ing sambekala.......

28 Desember 2007

HUKUM KEKEKALAN MASALAH

HUKUM KEKEKALAN MASALAH
“masalah tidak dapat diciptakan dan masalah tidak dapat dimusnahkan”

Masalah demi masalah seperti tak lelah mendera bangsa “besar” bernama Indonesia ini. Mulai dari bencana alam seperti tsunami di Aceh dan Pangandaran, gempa dahsyat di Jogja, lumpur panas Lapindo, longsor di Bantargebang, Banjarnegara, Manggarai(NTT), banjir bandang di Njakarta, Kalimantan, dan terakhir gempa di Sumatra Barat. Di samping bencana dari “mengamuknya” alam, masih ditambah dengan berbagai bencana akibat kesalahan langsung manusia seperti kecelakaan kereta api Bengawan dan beberapa kereta api lain yang anjlok, tenggelamnya kapal Senopati Nusantara, hilangnya pesawat Adam Air, tenggelamnya Levina I, dan pesawat Garuda gagal landing dan terbakar di Jogja.
Kisah di atas terjadi beberapa waktu silam, bahkan bencana tsunami Aceh sudah berulang tahun untuk ke tiga. Kisah tersebut kembali ditambah dengan kisah sedih berbagai bencana di tahun 2007. Bahkan akhir tahun ini ditutup dengan berbagai bencana banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah. Indramayu, Solo, Purwodadi, Padang, Sulawesi, Denpasar, Tawangmangu, dan entah mana lagi yang akan menyusul. Belum mengenai air bah akibat laut pasang seperti di Muara Baru, Semarang, Demak, dan Probolinggo. Gempa juga masih mengancam di Bengkulu, juga Maluku dan Sulawesi. Opo tumon? Ono opo iki?
Ada apa dengan negara kita? Dengan bangsa kita? Dengan manusia Indonesia? Kenapa seolah bangsa dan negara kita ini semakin terpuruk? Dan kenapa di setiap peristiwa dan kejadian yang menyayat pilu hati nurani kita selalu melayang korban-korban tak berdosa? Dan kenapa korban-korban itu tidak lain adalah rakyat kecil, komponen anak bangsa yang semestinya mendapatkan perlindungan hidup dari institusi negara, dimana saham terbesar sebuah negara berasal dari pundak rakyat? Pemrentah yang semestinya melindungi segenap tumpah darah Indonesia, seakan berpangku tangan tak berdaya menyaksikan penderitaan anak bangsanya. Masalah senantiasa datang silih berganti dan nampaknya menjadi semakin tak terkendali. Belum terselesaikan, atau bahkan belum tersentuh penanganan suatu masalah keburu datang masalah lain mendera dengan tiba-tiba, sehingga membuat pemrentah kita terbengong dan tak mengerti harus melakukan apa. Dan seringkali tindakan yang dilakukan pemrentah sebatas tindakan yang responsif, dalam artian hanya menunggu bergerak apabila memang suatu masalah telah timbul dan mendapatkan tekanan ataupun protes dari berbagai pihak. Tidak pernah ada konsep kebijakan pemrentah dalam suatu grand strategi yang valid dan teraplikasi secara baik. Itupun seringkali tindakan responsif yang dilakukan oleh pemrentah untuk mengatasi suatu permasalahan yang sudah terlanjur terjadi tidak pernah menyentuh akar permasalahan dan tidak jarang salah resep sehingga menimbulkan masalah baru.
Mengatasi masalah dengan masalah, barangkali demikianlah slogan yang semestinya disandang oleh pemrentah saat ini. Perhatian masyarakat terhadap suatu masalah harus dialihkan dengan menciptakan masalah baru. Masyarakat harus diyakinkan bahwa masalah yang baru harus diprioritaskan dan segara diatasi, sehingga masyarakat secara pasti harus melupakan masalah sebelumnya. Gali masalah tutup masalah, itu nampaknya rumus baku yang melandasi tindakan pemrentah kita.
Masalah bisa datang dan mendera siapa saja, tidak hanya pada level negara, bahkan setiap individu kita tentu mempunyai masalah masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Kerumitan dan tingkat kesulitan suatu masalah barangkali sesuai dengan kapasitas dan tingkatan hidup kita. Masalah yang dihadapi seorang tukang becak, semestinya tidak serumit masalah seorang sudagar yang tengah jatuh tempo hutangnya harus dilunasi. Dan bahkan Tuhanpun telah menegaskan tidak akan memberikan cobaan di luar kesanggupan hamba-Nya. Jadi secara tidak langsung sebenarnya problematika kehidupan manusia juga mengenal jenjang dan tingkat.
Masalah tidak dapat diciptakan dan masalah tidak dapat dimusnahkan. Ini sekedar otak-atik gathuk perumusan derivatif dari Hukum Kekekalan Massa yang pernah diajarkan di bangku SMP. Apakah ada diantara kita yang merencakan suatu masalah? Kita tentu sebisa mungkin menghindari, menjauhi, atau paling tidak memperkecil potensi timbulnya masalah. Kalaulah ada orang yang merencakan masalah barangkali hanya orang yang sakit jiwa atau seorang provokator, yang sebenarnya mereka adalah bagian masalah di masa lalu yang menjadi residu kehidupan di kemudian hari. Intinya dalam setiap perencanaan sebisa mungkin manusia pasti mereduksi potensi timbulnya masalah. Masalah tidak dapat diciptakan, ia adalah bagian dari mata rantai sejarah kehidupan panjang manusia yang telah dimulai semenjak penciptaan Adam, sang manusia pertama.

Kemudian kalaupun dengan perencanaan yang tliti dan njlimet, ternyata timbul masalah di tengah penerapan rencana yang telah dibuat, apakah ada jaminan kita mampu menyelesaikan masalah tersebut tuntas sampai 100%? Jawabnya sudah pasti tidak atau paling tidak relatif tidak tuntas, karena ditengah kesibukan kita menyelesaikan masalah keburu timbul masalah lain yang memaksa manusia untuk kemudian berpaling ke permasalahan baru. Begitu dan begitu seterusnya tanpa akan pernah berakhir sampai berakhirnya kehidupan duniawi. Masalah seakan manjadi siklus dan rantai maha panjang yang tiada akan pernah dapat terpecahkan misterinya oleh otak manusia yang terbatas. Masalah tidak pernah bisa dimusnahkan, ini sudah merupakan sunatullah, ketetapan dan hukum-Nya.

Barangkali jawaban jujur dan obyektif dari setiap masalah yang kita hadapi hanyalah bisa dijawab oleh sang waktu. Seiring berjalannya waktu, masalah akan selalu datang dan pergi silih berganti untuk kemudian tersimpan dalam catatan sejarah hidup kita untuk kemudian kita lupakan. Satu hal yang pasti bahwa semakin beragam jenis masalah yang kita hadapi, sadar atau tidak, semestinya akan memperkaya batin kita menuju kepada kematangan dan kedewasaan berpikir dalam menjalani roda kehidupan di muka bumi ini.
Permasalahan sebenarnya bukan pada masalah kekekalan masalah, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sikap dan tindakan kita dalam merespon suatu masalah. Suatu asumsi dan pendekatan harus dilakukan untuk memformulasikan masalah sehingga efek negatif suatu masalah sedemikian mungkin mempunyai peluang yang minimal dalam mendistorsi keselarasan hidup yang menjadi tujuan hidup manusia.

Ampun pemrentah....................

18 Desember 2007

PEMANASAN GLOBAL


Bukan Cak Nurbuat namanya apabila di tengah hiruk pikuk perdebatan dan hangatnya isu mengenai pemanasan global tidak mampu melemparkan sebuah guyonan terkait tema tersebut. Dengan nada ‘bedhekan’ Cak Buat bertanya kepada Cak Kartolo, “Mengapa sekarang suhu bumi meningkat menjadi sedemikian panas hingga disebut telah terjadi pemanasan global?”.

Cak Kartolo menjawab tegas, “Karena asep knalpot, knalpot pabrik, dan wit-witan dibabat entek!”. “Salah!”, kata Cak Buat dengan ngeyel. “Lha yok sing bener yok opo Cak?”. Cak Buat menegaskan dengan teori dagelannya, “Penyebab terjadinya pemanasan global dimana-mana adalah dikarenakan pada saat ini “matahari” dibuka dimana-mana”. Maksudnya?......tentu arek-arek semua bisa mengerti to?

Kemudian apa akibatnya terjadinya pelepasan asep knalpot dan pabrik, Cak Buat menerangkan dengan lebih ilmiah, “bahwasanya dengan pelepasan asep knalpot tersebut menjadi sebab terjadinya kebocoran lapisan ozon”. Cak Kartolo langsung menyerobot, “lha opo yen bocor gak kon soldir ae?”. “Disolder dengkule kon yo?entek limang ton karbite durung karuan ketambal bolonge”, sahut Nurbuat sewot.

Itulah sekedar prolog dagelan yang dilempar duo maestro yang sama-sama asli Suroboyo yang sengaja diadu dan dipertemukan kembali di Republik Kenduri Cinta. Cak Nun sebagai mediator diskusi kemudian memberikan pemaparan bahwasanya isu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim “dimulai” ketika para pakar dari berbagai penjuru dunia dengan disponsori PBB melakukan pertemuan di Bali baru-baru ini(United Nations Conference on Climate Change).

Kenapa Cak Nun berkata demikian? Sebelum adanya pertemuan para pakar tersebut, kata-kata mengenai perubahan iklim dan pemanasan global sangat jarang muncul dalam kosa kata media massa kita. Baik di koran maupun televisi sangat sedikit informasi yang memuat perihal isu tersebut, dengan demikian dapat dikatakan tidak ada pemanasan global dalam alam pikiran media kita. Saat ini dengan berkumpulnya para pakar telah berhasil “menciptakan” pemanasan global dan perubahan iklim, terbukti dengan dimuatnya isu-isu terkait dalam berbagai media massa dengan porsi yang menunjukkan peningkatan signifikan.

Cak Nun melanjutkan, para pakar jika mau berkumpul dan menyatukan pikiran memang dampaknya sangat luar biasa hingga berhasil menghimpun suatu “energi dahsyat” untuk mencairkan es-es di kutub utara dan selatan bumi hingga “terciptalah” pemanasan global dan perubahan iklim.

Semua sindiran khas “rekenan” gaya jawa timuran Cak Nun tersebut merupakan bentuk keprihatinan yang sangat mendalam dari seorang budayawan dikarenakan perhatian masyarakat, khususnya dunia media massa terhadap isu kehidupan, lingkungan hidup, dan human sociaty yang sangat kecil. Muatan media massa hanya mengikuti selera para pemegang modal yang mempunyai kepentingan keuntungan ekonomi semata, tanpa memberikan informasi dan fakta yang dapat mencerdaskan pola pikir rakyat.

Media massa dewasa ini lebih banyak terjebak memberikan hiburan dan infotainment yang menina-bobokkan masyarakat sehingga tidak lagi memiliki kepekaan dan roso kamanungsannya. Makanya sekali-kali anda jangan heran apabila rakyat hanya tahu dan mengerti mengenai mantera “ kamu ketahuan.....pacaran lagi......dengan si dia......”.

Lebih lanjut dalam kesempatan diskusi malam itu juga hadir Pak Didik, seorang pakar teknologi lingkungan dari IPB sebagai nara sumber. Beliau memaparkan bahwasanya negara maju saat ini sesungguhnya sangat takut terhadap kegiatan pembangunan di negara berkembang yang melakukan deforesisasi. Negara berkembang yang memiliki angka pertambahan penduduk yang tinggi memerlukan penyedian kebutuhan pangan yang semakin meningkat pula. Pola peningkatan produktivitas pangan dengan cara intensifikasi dan disertifikasi varietas tanaman memang terus dilakukan.

Namun rupanya hal tersebut tetap harus dibarengi dengan pembukaan lahan baru(ekstensifikasi) dikarenakan kebutuhan pangan meningkat dan peralihan penggunaan lahan pertanian untuk sektor kegiatan yang lain. Hal inilah yang membuat negara berkembang, mau tidak mau kemudian melakukan pembabatan hutan untuk perluasan lahan pertanian. Pembabatan hutan yang dilakukan disini tentunya dalam konteks yang berbeda dengan ”ilegal logging” yang dilakukan oleh para pemegang HPH untuk mengeruk keuntungan pribadi semata.

Di sisi lain, keberadaan gas rumah kaca yang ada di lapisan atmosfer bumi pada saat ini sebenarnya adalah hasil dari kegiatan di era sebelum tahun 70-an yang notabene merupakan produksi dari kegiatan industri di negara-negara maju. Hal tersebut dilandasi bahwa secara teori kimia maupun lingkungan gas rumah kaca yang terbentuk akibat lepasan asap pembakaran bahan bakar fosil akan memiliki pola aliran dan proses reaksi kimia yang panjang sebelum kemudian terjebak dan persisten pada lapisan atmosfer. Oleh karena itu menjadi sangat wajar apabila kemudian negara-negara berkembang yang mayoritas mempunyai areal hutan yang luas sebagai paru-paru bumi juga menuntut kompensasi dana untuk penyelamatan iklim karena negara maju merupakan kontributor besar akan keberadaan gas rumah kaca.

Adalah tidak adil ketika negara maju menekan negara berkembang untuk menurunkan laju deforestrisasi dan bahkan menaikkan anggaran untuk penghijauan kembali hutannya, padahal di sisi lain negara berkembang butuh pembukaan lahan pertanian yang baru guna pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya. Bagaimana menurut sampeyan?

10 Desember 2007

KENDURI CINTA


Mengharapkan kehadiran rekan-rekan dalam acara bulanan
KENDURI CINTA DESEMBER 2007

dengan tajuk
"Kita...Para INDON!!!"

bersama:
EMHA AINUN NADJIB
Muhammas Sobari
Taufik Ismail

WS Rendra
Romo Beni
Kiai Budi Hardjono
Bertha

didukung oleh:
Kiai Kanjeng Sepuh
mBah Surip
Brantas
dan siapa saja.................
************
Hari Jum'at, 14 Desember 2007 jam 20.00 WIB - selesai
Parkir Taman Ismail Marzuki Cikini, Jakarta Pusat
GRATIS.......LESEHAN.........BAROKAH


Free chat widget @ ShoutMix