28 Desember 2007

HUKUM KEKEKALAN MASALAH

HUKUM KEKEKALAN MASALAH
“masalah tidak dapat diciptakan dan masalah tidak dapat dimusnahkan”

Masalah demi masalah seperti tak lelah mendera bangsa “besar” bernama Indonesia ini. Mulai dari bencana alam seperti tsunami di Aceh dan Pangandaran, gempa dahsyat di Jogja, lumpur panas Lapindo, longsor di Bantargebang, Banjarnegara, Manggarai(NTT), banjir bandang di Njakarta, Kalimantan, dan terakhir gempa di Sumatra Barat. Di samping bencana dari “mengamuknya” alam, masih ditambah dengan berbagai bencana akibat kesalahan langsung manusia seperti kecelakaan kereta api Bengawan dan beberapa kereta api lain yang anjlok, tenggelamnya kapal Senopati Nusantara, hilangnya pesawat Adam Air, tenggelamnya Levina I, dan pesawat Garuda gagal landing dan terbakar di Jogja.
Kisah di atas terjadi beberapa waktu silam, bahkan bencana tsunami Aceh sudah berulang tahun untuk ke tiga. Kisah tersebut kembali ditambah dengan kisah sedih berbagai bencana di tahun 2007. Bahkan akhir tahun ini ditutup dengan berbagai bencana banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah. Indramayu, Solo, Purwodadi, Padang, Sulawesi, Denpasar, Tawangmangu, dan entah mana lagi yang akan menyusul. Belum mengenai air bah akibat laut pasang seperti di Muara Baru, Semarang, Demak, dan Probolinggo. Gempa juga masih mengancam di Bengkulu, juga Maluku dan Sulawesi. Opo tumon? Ono opo iki?
Ada apa dengan negara kita? Dengan bangsa kita? Dengan manusia Indonesia? Kenapa seolah bangsa dan negara kita ini semakin terpuruk? Dan kenapa di setiap peristiwa dan kejadian yang menyayat pilu hati nurani kita selalu melayang korban-korban tak berdosa? Dan kenapa korban-korban itu tidak lain adalah rakyat kecil, komponen anak bangsa yang semestinya mendapatkan perlindungan hidup dari institusi negara, dimana saham terbesar sebuah negara berasal dari pundak rakyat? Pemrentah yang semestinya melindungi segenap tumpah darah Indonesia, seakan berpangku tangan tak berdaya menyaksikan penderitaan anak bangsanya. Masalah senantiasa datang silih berganti dan nampaknya menjadi semakin tak terkendali. Belum terselesaikan, atau bahkan belum tersentuh penanganan suatu masalah keburu datang masalah lain mendera dengan tiba-tiba, sehingga membuat pemrentah kita terbengong dan tak mengerti harus melakukan apa. Dan seringkali tindakan yang dilakukan pemrentah sebatas tindakan yang responsif, dalam artian hanya menunggu bergerak apabila memang suatu masalah telah timbul dan mendapatkan tekanan ataupun protes dari berbagai pihak. Tidak pernah ada konsep kebijakan pemrentah dalam suatu grand strategi yang valid dan teraplikasi secara baik. Itupun seringkali tindakan responsif yang dilakukan oleh pemrentah untuk mengatasi suatu permasalahan yang sudah terlanjur terjadi tidak pernah menyentuh akar permasalahan dan tidak jarang salah resep sehingga menimbulkan masalah baru.
Mengatasi masalah dengan masalah, barangkali demikianlah slogan yang semestinya disandang oleh pemrentah saat ini. Perhatian masyarakat terhadap suatu masalah harus dialihkan dengan menciptakan masalah baru. Masyarakat harus diyakinkan bahwa masalah yang baru harus diprioritaskan dan segara diatasi, sehingga masyarakat secara pasti harus melupakan masalah sebelumnya. Gali masalah tutup masalah, itu nampaknya rumus baku yang melandasi tindakan pemrentah kita.
Masalah bisa datang dan mendera siapa saja, tidak hanya pada level negara, bahkan setiap individu kita tentu mempunyai masalah masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Kerumitan dan tingkat kesulitan suatu masalah barangkali sesuai dengan kapasitas dan tingkatan hidup kita. Masalah yang dihadapi seorang tukang becak, semestinya tidak serumit masalah seorang sudagar yang tengah jatuh tempo hutangnya harus dilunasi. Dan bahkan Tuhanpun telah menegaskan tidak akan memberikan cobaan di luar kesanggupan hamba-Nya. Jadi secara tidak langsung sebenarnya problematika kehidupan manusia juga mengenal jenjang dan tingkat.
Masalah tidak dapat diciptakan dan masalah tidak dapat dimusnahkan. Ini sekedar otak-atik gathuk perumusan derivatif dari Hukum Kekekalan Massa yang pernah diajarkan di bangku SMP. Apakah ada diantara kita yang merencakan suatu masalah? Kita tentu sebisa mungkin menghindari, menjauhi, atau paling tidak memperkecil potensi timbulnya masalah. Kalaulah ada orang yang merencakan masalah barangkali hanya orang yang sakit jiwa atau seorang provokator, yang sebenarnya mereka adalah bagian masalah di masa lalu yang menjadi residu kehidupan di kemudian hari. Intinya dalam setiap perencanaan sebisa mungkin manusia pasti mereduksi potensi timbulnya masalah. Masalah tidak dapat diciptakan, ia adalah bagian dari mata rantai sejarah kehidupan panjang manusia yang telah dimulai semenjak penciptaan Adam, sang manusia pertama.

Kemudian kalaupun dengan perencanaan yang tliti dan njlimet, ternyata timbul masalah di tengah penerapan rencana yang telah dibuat, apakah ada jaminan kita mampu menyelesaikan masalah tersebut tuntas sampai 100%? Jawabnya sudah pasti tidak atau paling tidak relatif tidak tuntas, karena ditengah kesibukan kita menyelesaikan masalah keburu timbul masalah lain yang memaksa manusia untuk kemudian berpaling ke permasalahan baru. Begitu dan begitu seterusnya tanpa akan pernah berakhir sampai berakhirnya kehidupan duniawi. Masalah seakan manjadi siklus dan rantai maha panjang yang tiada akan pernah dapat terpecahkan misterinya oleh otak manusia yang terbatas. Masalah tidak pernah bisa dimusnahkan, ini sudah merupakan sunatullah, ketetapan dan hukum-Nya.

Barangkali jawaban jujur dan obyektif dari setiap masalah yang kita hadapi hanyalah bisa dijawab oleh sang waktu. Seiring berjalannya waktu, masalah akan selalu datang dan pergi silih berganti untuk kemudian tersimpan dalam catatan sejarah hidup kita untuk kemudian kita lupakan. Satu hal yang pasti bahwa semakin beragam jenis masalah yang kita hadapi, sadar atau tidak, semestinya akan memperkaya batin kita menuju kepada kematangan dan kedewasaan berpikir dalam menjalani roda kehidupan di muka bumi ini.
Permasalahan sebenarnya bukan pada masalah kekekalan masalah, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sikap dan tindakan kita dalam merespon suatu masalah. Suatu asumsi dan pendekatan harus dilakukan untuk memformulasikan masalah sehingga efek negatif suatu masalah sedemikian mungkin mempunyai peluang yang minimal dalam mendistorsi keselarasan hidup yang menjadi tujuan hidup manusia.

Ampun pemrentah....................

18 Desember 2007

PEMANASAN GLOBAL


Bukan Cak Nurbuat namanya apabila di tengah hiruk pikuk perdebatan dan hangatnya isu mengenai pemanasan global tidak mampu melemparkan sebuah guyonan terkait tema tersebut. Dengan nada ‘bedhekan’ Cak Buat bertanya kepada Cak Kartolo, “Mengapa sekarang suhu bumi meningkat menjadi sedemikian panas hingga disebut telah terjadi pemanasan global?”.

Cak Kartolo menjawab tegas, “Karena asep knalpot, knalpot pabrik, dan wit-witan dibabat entek!”. “Salah!”, kata Cak Buat dengan ngeyel. “Lha yok sing bener yok opo Cak?”. Cak Buat menegaskan dengan teori dagelannya, “Penyebab terjadinya pemanasan global dimana-mana adalah dikarenakan pada saat ini “matahari” dibuka dimana-mana”. Maksudnya?......tentu arek-arek semua bisa mengerti to?

Kemudian apa akibatnya terjadinya pelepasan asep knalpot dan pabrik, Cak Buat menerangkan dengan lebih ilmiah, “bahwasanya dengan pelepasan asep knalpot tersebut menjadi sebab terjadinya kebocoran lapisan ozon”. Cak Kartolo langsung menyerobot, “lha opo yen bocor gak kon soldir ae?”. “Disolder dengkule kon yo?entek limang ton karbite durung karuan ketambal bolonge”, sahut Nurbuat sewot.

Itulah sekedar prolog dagelan yang dilempar duo maestro yang sama-sama asli Suroboyo yang sengaja diadu dan dipertemukan kembali di Republik Kenduri Cinta. Cak Nun sebagai mediator diskusi kemudian memberikan pemaparan bahwasanya isu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim “dimulai” ketika para pakar dari berbagai penjuru dunia dengan disponsori PBB melakukan pertemuan di Bali baru-baru ini(United Nations Conference on Climate Change).

Kenapa Cak Nun berkata demikian? Sebelum adanya pertemuan para pakar tersebut, kata-kata mengenai perubahan iklim dan pemanasan global sangat jarang muncul dalam kosa kata media massa kita. Baik di koran maupun televisi sangat sedikit informasi yang memuat perihal isu tersebut, dengan demikian dapat dikatakan tidak ada pemanasan global dalam alam pikiran media kita. Saat ini dengan berkumpulnya para pakar telah berhasil “menciptakan” pemanasan global dan perubahan iklim, terbukti dengan dimuatnya isu-isu terkait dalam berbagai media massa dengan porsi yang menunjukkan peningkatan signifikan.

Cak Nun melanjutkan, para pakar jika mau berkumpul dan menyatukan pikiran memang dampaknya sangat luar biasa hingga berhasil menghimpun suatu “energi dahsyat” untuk mencairkan es-es di kutub utara dan selatan bumi hingga “terciptalah” pemanasan global dan perubahan iklim.

Semua sindiran khas “rekenan” gaya jawa timuran Cak Nun tersebut merupakan bentuk keprihatinan yang sangat mendalam dari seorang budayawan dikarenakan perhatian masyarakat, khususnya dunia media massa terhadap isu kehidupan, lingkungan hidup, dan human sociaty yang sangat kecil. Muatan media massa hanya mengikuti selera para pemegang modal yang mempunyai kepentingan keuntungan ekonomi semata, tanpa memberikan informasi dan fakta yang dapat mencerdaskan pola pikir rakyat.

Media massa dewasa ini lebih banyak terjebak memberikan hiburan dan infotainment yang menina-bobokkan masyarakat sehingga tidak lagi memiliki kepekaan dan roso kamanungsannya. Makanya sekali-kali anda jangan heran apabila rakyat hanya tahu dan mengerti mengenai mantera “ kamu ketahuan.....pacaran lagi......dengan si dia......”.

Lebih lanjut dalam kesempatan diskusi malam itu juga hadir Pak Didik, seorang pakar teknologi lingkungan dari IPB sebagai nara sumber. Beliau memaparkan bahwasanya negara maju saat ini sesungguhnya sangat takut terhadap kegiatan pembangunan di negara berkembang yang melakukan deforesisasi. Negara berkembang yang memiliki angka pertambahan penduduk yang tinggi memerlukan penyedian kebutuhan pangan yang semakin meningkat pula. Pola peningkatan produktivitas pangan dengan cara intensifikasi dan disertifikasi varietas tanaman memang terus dilakukan.

Namun rupanya hal tersebut tetap harus dibarengi dengan pembukaan lahan baru(ekstensifikasi) dikarenakan kebutuhan pangan meningkat dan peralihan penggunaan lahan pertanian untuk sektor kegiatan yang lain. Hal inilah yang membuat negara berkembang, mau tidak mau kemudian melakukan pembabatan hutan untuk perluasan lahan pertanian. Pembabatan hutan yang dilakukan disini tentunya dalam konteks yang berbeda dengan ”ilegal logging” yang dilakukan oleh para pemegang HPH untuk mengeruk keuntungan pribadi semata.

Di sisi lain, keberadaan gas rumah kaca yang ada di lapisan atmosfer bumi pada saat ini sebenarnya adalah hasil dari kegiatan di era sebelum tahun 70-an yang notabene merupakan produksi dari kegiatan industri di negara-negara maju. Hal tersebut dilandasi bahwa secara teori kimia maupun lingkungan gas rumah kaca yang terbentuk akibat lepasan asap pembakaran bahan bakar fosil akan memiliki pola aliran dan proses reaksi kimia yang panjang sebelum kemudian terjebak dan persisten pada lapisan atmosfer. Oleh karena itu menjadi sangat wajar apabila kemudian negara-negara berkembang yang mayoritas mempunyai areal hutan yang luas sebagai paru-paru bumi juga menuntut kompensasi dana untuk penyelamatan iklim karena negara maju merupakan kontributor besar akan keberadaan gas rumah kaca.

Adalah tidak adil ketika negara maju menekan negara berkembang untuk menurunkan laju deforestrisasi dan bahkan menaikkan anggaran untuk penghijauan kembali hutannya, padahal di sisi lain negara berkembang butuh pembukaan lahan pertanian yang baru guna pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya. Bagaimana menurut sampeyan?

10 Desember 2007

KENDURI CINTA


Mengharapkan kehadiran rekan-rekan dalam acara bulanan
KENDURI CINTA DESEMBER 2007

dengan tajuk
"Kita...Para INDON!!!"

bersama:
EMHA AINUN NADJIB
Muhammas Sobari
Taufik Ismail

WS Rendra
Romo Beni
Kiai Budi Hardjono
Bertha

didukung oleh:
Kiai Kanjeng Sepuh
mBah Surip
Brantas
dan siapa saja.................
************
Hari Jum'at, 14 Desember 2007 jam 20.00 WIB - selesai
Parkir Taman Ismail Marzuki Cikini, Jakarta Pusat
GRATIS.......LESEHAN.........BAROKAH

28 November 2007

BATAM.........Selayang Pandang

Batam merupakan sebuah pulau dalam gugusan Kepulauan Riau yang saat ini merupakan daerah otonom mandiri di bawah administrasi Provinsi Kepulauan Riau. Batam secara topografi merupakan “kembaran” pulau Tumasik atau yang saat ini merupakan negara yang berdaulat tersendiri. Dari sisi sejarah Batam pernah di bawah pemerintahan Kasultanan Melaka, Johor Bahru, Tumasik, serta Kasultanan Riau Daratan dan setelah masa Konvensi London 1824, Batam jatuh ke tangan pemerintahan Kolonial Belanda.

Kalajengaken...

Menimbang posisi geografis yang sangat strategis pada persilangan lalu lintas perdagangan internasional melalui Selat Malaka, maka di masa pertengahan orde baru, atas inisiatif BJ Habibie terbentuklah Otorita Batam yang mempunyai tugas mengembangkan Batam menjadi pusat perindustrian dan perdagangan sekaligus menjadi gerbang internasional di selatan Selat Malaka.

Melalui kebijakan tersebut, maka berbagai sarana dan infrastruktur dipersiapkan untuk menunjang kegiatan investasi. Secara bertahap tujuh pulau penting dihubungkan melalui jembatan penghubung. Jembatan tersebut menghubungkan tiga pulau utama, yaitu Batam, Rempang, dan Galang, sehingga rangkaian jembatan yang didisain modern tersebut terkenal sebagai jembatan BARELANG yang kemudian menjadi landmark Batam.

Pada kesempatan bulan kemarin, kami serombongan berkesempatan mengunjungi Batam untuk suatu tugas yang diembankan kepada kami. Banyak cerita dan dongen yang pernah kami dengar mengenai Batam dan semuanya seakan mengesankan kepada suatau ketakjuban dan kemajuan pembangunan yang luar biasa. Akan tetapi, ketika kami sendiri melihat kondisi di sana alangkah jauh panggang daripada api. Banyak hal yang seakan kontradiksi dengan versi batam di alam dongeng kabar cerita.

Batam memang sebuah wilayah yang dikembangkan sebagai sebuah kota terpadu yang mandiri, namun kelihatan konsep pengembangan dan pembangunannya kurang mengadopsi secara proposional akar budaya dan tradisi masyarakat lokal. Hal ini sangat berlainan dengan penegembangan kota Putrajaya atau Syah Alam di Malaysia yang dari sisi bangunan banyak menampilkan nuansa tradisional meski telah didesain lebih ekslusif dengan gaya arsitektur modern. Di Batam yang paling banyak menonjol di kawasan kotanya sendiri hanyalah ribuan ruko di kanan kiri jalan, dan barangkali kota ini memang hanya dirancang untuk sebuah pusat perbelanjaan semata, ataukah memang niatnya untuk menyangi sang tetangga Singapura?

Dari sisi produk, nampaknya belum ada hal yang menggambarakan secara spesisik dan unik mengenai Batam, apakah berupa makanan khas, produk kerajinan atau souvenir yang antik. Yang ada di pasaran kebanyakan malah produk kerajinan dan souvenir negeri tetangga, baik Singapura maupun Malaysia baik berupa cinderamata, kaos, juga aneka ragam makanan mulai dari kue dan coklat impor. Hal ini sangat berlainan semisal Jogja dengan batik, keris, blangkon, perak dan masih banyak jenis produk kerajinan khasnya, maupun untuk jenis makanan semisal gudeg, geplak, bakpia dll.

Dalam hal sarana transportasi umum di darat, nampaknya belum tertata dengan baik dan teratur. Angkutan umum yang ada kurang memberikan panduan kepada pengunjung mengenai jalur dan tujuan perjalanan yang dilayani. Bahkan yang sangat unik, taksi bisa sembarangan mengangkut penumpang hingga kapasitas penuh selayaknya angkot biasa, hal ini jelas sangat membingungkan dan mengurangi rasa kenyamanan dan keamanan pengunjung. Hal tersebut barangkali merupakan kendala utama untuk pengembangan bagi suatu daerah tujuan wisata.

Tantangan ke depan bagi pemda setempat barangkali, apakah Batam bisa menemukan identitas dirinya untuk tampil memberikan andil bagi percaturan ekonomi di Selat Malaka, ataukah hanya sekedar tumbuh mengikuti arus negara tetangga dan menjadi pusat peralihan barang impor serta sekedar tempat pengusahan asing menempatkan pabrik-pabrik uangnya tanpa memberikan kesejahteraan kehidupan bagi warga dan para perantau yang mengadu nasib hidupnya di sana. Tentu hanyalah waktu yang dapat menjawabnya.......


Free chat widget @ ShoutMix